Laan van Kronenburg

dan perdjoeangan masih panjang

Secangkir teh pahit kental dan penutup kisah bendera …

Diare kambuh lagi. Hmmmpfff, akhirnya secangkir teh pahit kental jadi harapan untuk melewati masa ini.

Sekedar penutup kisah-kisah tentang bendera selama liburan. Rasa kangen pada bendera merah putih yang berkibar membuatku pulang memilih tidak pas Lebaran melainkan pas sebelum 17 Agustus. Tanggal 17, ikut upacara sekalian nostalgia di SD Sinduadi Timur, tempat aku belajar membaca dan menulis. Pembina upacaranya Bapak Kadus dengan pemimpin upacara teman main benthik waktu kecil dahulu. Pengalaman dengan bendera selama liburan yang lalu kadang membanggakan dan kadang membuat mengurut dada.

Bendera berkibar di Ketep Pass

Mejeng dengan latar belakang bendera berkibar di Plaza Pancasila,

Kebanggaan yang menyelinap saat melihat bendera itu berkibar di angkasa, terusik dan geram ketika melihat bendera menjadi alat (yang bahkan sampai terseret-seret di tanah) untuk melanggar disiplin oleh konvoi segerombolan oknum yang memakai jaket “penegak disiplin”.

Konvoi penegak disiplin yang tidak sebagian besar tidak pakai helm!!

...dan bendera bangsaku terseret-seret di aspal.

28 September 2008 Posted by | Secangkir ... | , , | 1 Komentar

Secangkir kopi pahit dan kisah 10 kota dalam 60 jam.

Secangkir kopi sudah siap. Belum beli gula, jadi tersisa kopi kental saja dan pahit. Biasanya malas minum kopi, namun hari ini istimewa: belum beli teh dan gula. Maklum week end pertama setelah merapat lagi ke Amsterdam, kota dengan segala tawaran dan godaan. Masih capek dan jiwa ini serasa masih dalam mimpi menyusuri jalan-jalan Yogyakarta. Menyapa titik nol km, tempat cahandong jumintenan. Hanya saja udara dingin yang sinergi dengan libasan angin membuat tersadar bahwa ini Amsterdam, bukan Jogjaku yang kucinta.

Masuk angin komplikasi diare akibat mampir di 10 kota di dua benua yang berbeda sudah berangsur membaik. Sepuluh kota? Iya sepuluh kota. Bukan hal yang patut dibanggakan, hanya karena cari tiket murah saja.

Awan, usia 5 bulan 10 hari.

Berawal di Jogja, hari Minggu tengah hari seputaran pukul 12, Bandara Adisucipto kembali jadi saksi perpisahan dengan belahan jiwa dan Awan, darah dagingku yang mungil dan lagi lucu-lucunya. Pesawat, yang tumben tanpa delay, membawa terbang ke Bandara Soekarno Hatta dan langsung menuju hotel Sofyan. Semalam menyusuri Jakarta bersama dua orang sahabat sejak SMP yang dua-duanya masih menjomblo. Penguasa Tebet betul mereka, dari WarMo yang terkenal lengkap dan enak sampai rumah susun yang penghuninya berbagai kalangan pun dikenalnya. Capek, mereka pamitan setelah menembus dini hari, dilanjutkan aku tertidur setelah mencoba membuat website yang sekarang tayang di sini.

Jakarta, sebuah kota yang membuatku bergidik dan merinding. Entah perasaan tidak nyaman selalu hinggap jika berada di atmosfer Jakarta. Untung perjalanan sudah diatur dan semua lancar. Pemberhentian selanjutnya adalah Depok, guna mengunjungi kolega dan sahabat di sebuah universitas negeri yang sudah tua di Indonesia. Setelah Depok, bergerak ke salah satu Universitas Swasta yang memiliki Fakultas Farmasi tertua kedua di Indonesia setelah Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Pemberhentian selanjutnya adalah Cisarua, menemani rekan yang akan rapat tentang regulasi kosmetik dan aku istirahat di tempat berbukit yang indah nian (tidak mungkin ditemui di Belanda). Cisarua bergerak ke Bandara CGK, Tangerang. Dan pesawat malam itu membawaku ke Kuala Lumpur (satu jam tanpa turun), Kuwait (transit sekitar 5 jam), Roma (satu jam tanpa turun), berakhir di Paris. Dari Bandara CDG naik kereta dan subway menuju Paris Gallieni, untuk meneruskan perjalanan selama 7 jam naik Bus menuju Amsterdam. Sampai Amsterdam tepat di depan kamar, arloji dari orang yang (pernah) mencintai aku menunjukkan pukul 06.00 dini hari. Yogyakarta-Jakarta-Depok-Cisarua-Tangerang-Kuala Lumpur-Kuwait-Roma-Paris-Amsterdam, 10 kota/kabupaten di 2 benua yang berbeda dalam 60 jam, menggunakan 5 jenis transportasi publik yang berbeda pula: taxi, pesawat, kereta, subway, bus. Suatu cerita yang tidak ingin diulangi lagi kalau sendirian.

Pengalaman paling menarik dalam perjalanan ini adalah mengamati karakter petugas keamanan masing-masing bandara. Di Indonesia, seperti telah banyak dibahas, terasa perbedaan tingkat keramahan (mungkin juga prosedur) antara group check in (tujuan Kuwait, banyak TKI-nya) dan individual check in, di Kuwait tidak terasa ada perbedaan, tapi terasa sekali kadar keramahan yang tipis, bentakan-bentakan mudah didengar di segala sudut bandara dan sulit sekali melihat senyuman ramah dari petugas bandara. Senyum ramah hanya pernah didapat dari penjaga toko souvenir tempat aku belanja sedikit kenang-kenangan bahwa pernah ke Kuwait. Di bandara Charles de Gaule Paris, suasana tidak seseram Schphol Amsterdam. Pemeriksaan identitas dan dokumen singkat dan cepat. Biasanya kalau di Amsterdam melalui beberapa pertanyaan, saat ini di Paris tidak ditanya apa-apa. Bagasi juga datang relatif lebih cepat dibanding Amsterdam.

Ah sudah pukul 14.30. Saatnya belanja dan nonton film. The Forbidden Kingdom sepertinya menarik

27 September 2008 Posted by | Secangkir ... | , , , , | 4 Komentar

Segelas besar teh tawar panas dan delay satu jam di Bandara Juanda

Dosengila sembari tersenyum kecut bertanya pada petugas check in, “Delay satu jam?”
“Begitulah Pak. Ada latihan oleh TNI AU di Jogja sehingga bandara ditutup selama satu jam. Terpaksa pesawat di kami delay.”

Dosengila lalu melangkah gontai menuju gate 2 tempat pesawat yang direncanakan delay dalam membawanya terbang ke Kasultanan nDoyokarta berhati Zamatriphe. Memasuki gate, dosengila bersiap untuk melewati pemeriksaan, dan ditolak. Alasan penolakanya karena pesawat delay jadi masuknya gate juga ditunda. Bayangan dosengila untuk menikmati ruang tunggu sembari meneruskan tidurnya yang tertunda karena mengambil penerbangan kepagian sirna sudah.

Akhirnya dosengila balik kanan dan menuju tempat yang bisa untuk merokok, Wismilak Diplomat Kafe. Dan setelah duduk dan mengambil laptop, setelah memesan nasi rawon dan teh tawar panas, hati yang gontai cukup terobati karena ada WiFi gratis. Dan dosengila pun segera menuliskan kisah-kisah mengharukan menyayat hati dan membuat setiap pembaca mengucurkan air mata dan darah ini.

Ya. Dosengila memang terdampar di Surabaya sejak hari Minggu 14 September kemarin. Acara intinya adalah menghadiri buka bersama (bubar) rekan-rekan seangkatan waktu SMA dulu yang berdomisili di Surabaya, dengan acara sampingan berkunjung dan diskusi untuk merancang proyek rahasia yang didanai Istanadiskusi dan sharing di Fakultas Farmasi UNAIR.

Dua belas orang hadir dalam acara bubar, dan sebagian besar sudah tidak bertemu dengan dosengila lebih dari 10 tahun. Dan dosengila memiliki “massa” terbesar dibandingkan mereka. Mungkin karena tuntutan profesi yang membuat rekan-rekan tetap relatif “slim”.

Masih ada Budut ...

Budut pulang diganti Yimmi Kur

Rawon sudah siap, teh tawar panas sudah menunggu untuk menghangatkan perut. Selamat makan …

16 September 2008 Posted by | Secangkir ... | , , , | 2 Komentar

Segelas besar es sokelat dan cerita tentang tugu, cahandong, dan rel kereta

Warning: Banyak foto.

Hm… banyak cerita yang bisa ditulis. Segelas besar es sokelat dan sepiring kecil salad buah sudah siap menemani menulis di break kafe jakal km 5.

Seminggu sejak buka bersama dengan cahandong di rumah Om Yahya, akhirnya berhasil juga menghadiri Juminten-nya rekan-rekan cahandong. Berangkat dari rumah sekitar pukul 10.00 WIB melaju ke km 0 Yogya, tempat ritual mingguan tersebut dilaksanakan. Eh di tugu melihat segerombolan anak muda sedang berfoto dengan tugu sebagai objek. Dan, aku mengenali anak-anak muda tersebut, mahasiswa-mahasiswa yang pernah kuajar dua tahun silam.

Putar balik, bergabunglah daku dengan mereka. Dan hasilnya dapat dilihat disini:
Mahasiswa gendeng murid dosengila

Dosengila dikelilingi bidadari (?)

Dosengila dengan bodyguard

Setelah puas poto-poto di tugu dan memegang tugu (mitosnya kalau megang tugu akan selalu balik ke Jogja) segera bergabung ke km 0. Dan setelah putar-putar tiga kali menemukan wajah funkshit dan ritual khas salam-salaman lalu duduk menanti anggota yang lain. Dan setelah lewat tengah malam (koq jadi ingat Sidney Sheldon), semakin banyak yang bergabung:

Sebagian anggota. Terlihat Momon, Selo, Ocha, Ama, dan Ekowans

Briefing oleh Goen

Lalu pasukan bergerak untuk melaksanakan “Sahur on the Rail“. Cerita lengkap bisa dibaca di postingan rekan Alle. Poto-poto “Sahur on the Rail“:

Penyerahan bingkisan

di pos 739

di pos 737

Goed gedaan mijn vrienden!

13 September 2008 Posted by | Secangkir ... | , , , | 7 Komentar

Secangkir teh pahit kental dan cerita lanjutan bendera …

Mendarat di Bandara Soekarno Hatta kurang lebih pukul 10.00 WIB tanggal 16 Agustus 2008, sehari sebelum peringatan proklamasi kemerdekaan. Suasana aman dan terkendali. Hanya saja ketika menukar sim card dengan nomor lokal, sim card Belanda-ku hilang. Jadi rekan-rekan di Belanda nanti kukabari nomor Belanda yang baru. Sepatu pun jebol dan minta diganti. Hm… gak ada skrinsyut, nanti menyusul deh.

Masih di jakarta, menunggu pesawat ke Jogja yang dijadwalkan terbang sekitar jam 19.00 WIB, mencoba peruntungan mau ke kota, cari sepatu ganti. Haish, ternyata jalan ke kota macet dan dengan cemas mengkuti kemacetan balik ke Bandara. Ho…ho..ho.. masih ada waktu untuk check in, kurang lima menit sih sebenarnya. Sambil berlari menuju gate tempat pesawat yang akan membawaku menanti. Ternyata tidak perlu berlari itu, ada delay sebentar karena kendala teknis. Ssstttt jangan bilang-bilang ya, kendala teknisnya setelah selidik punya selidik adalah karena ada tambahan crew yang mau ikut terbang ke Jogja. Mau tahu siapa crew tambahan tersebut? Empat orang perempuan cantik tinggi semampai berjalan pelan dengan baju eksotis (bukan seragam), yang terlambat karena fitness di gym . Sudah menumpang, terlambat, berjalannya tidak menunjukkan kesan terburu karena sudah mengganggu kepentingan banyak orang, tidak ada penyesalan sedikit pun terbersit. Capek deh … Ah sudahlah, karena ternyata orang-orang di juga tidak peduli. Mengapa? Karena calon penumpang sedang menyaksikan final ganda putra di Olimpiade Beijing sambil berharap dan berdoa bendera merah putih dan lagu Indonesia Raya berkumandang di negeri Tirai Bambu itu.

Kursi tunggu di depan televisi yang menghiasi gate penuh sesak dengan para calon penumpang yang bersorak kala poin bertambah untuk Indonesia (dan kadang mengumpat ketika lawan memperoelh poin atau sekedar kesempatan menambah poin). Dan sejarah mengukir bahwa ganda putra Indonesia, Markis Kido dan Hendra Setiawan, meraih emas dan sekali lagi Bendera Merah Putih berkibar serta Lagu Indonesia Raya berkumandang di kancah internasional. Selamat dan terima kasih.

Ganda putra peraih medali emas Olimpiade 2008
Foto dari http://hinamagazine.com/wp-content/uploads/2008/01/markis-hendra.jpg

Ah, perutku melilit, sepertinya terserang diare karena penyesuaian dengan makanan di Jogja. Secangkir teh pahit kental semoga membantu.

9 September 2008 Posted by | Secangkir ... | , , | Tinggalkan komentar