Laan van Kronenburg

dan perdjoeangan masih panjang

Secangkir kopi pahit dan kisah 10 kota dalam 60 jam.

Secangkir kopi sudah siap. Belum beli gula, jadi tersisa kopi kental saja dan pahit. Biasanya malas minum kopi, namun hari ini istimewa: belum beli teh dan gula. Maklum week end pertama setelah merapat lagi ke Amsterdam, kota dengan segala tawaran dan godaan. Masih capek dan jiwa ini serasa masih dalam mimpi menyusuri jalan-jalan Yogyakarta. Menyapa titik nol km, tempat cahandong jumintenan. Hanya saja udara dingin yang sinergi dengan libasan angin membuat tersadar bahwa ini Amsterdam, bukan Jogjaku yang kucinta.

Masuk angin komplikasi diare akibat mampir di 10 kota di dua benua yang berbeda sudah berangsur membaik. Sepuluh kota? Iya sepuluh kota. Bukan hal yang patut dibanggakan, hanya karena cari tiket murah saja.

Awan, usia 5 bulan 10 hari.

Berawal di Jogja, hari Minggu tengah hari seputaran pukul 12, Bandara Adisucipto kembali jadi saksi perpisahan dengan belahan jiwa dan Awan, darah dagingku yang mungil dan lagi lucu-lucunya. Pesawat, yang tumben tanpa delay, membawa terbang ke Bandara Soekarno Hatta dan langsung menuju hotel Sofyan. Semalam menyusuri Jakarta bersama dua orang sahabat sejak SMP yang dua-duanya masih menjomblo. Penguasa Tebet betul mereka, dari WarMo yang terkenal lengkap dan enak sampai rumah susun yang penghuninya berbagai kalangan pun dikenalnya. Capek, mereka pamitan setelah menembus dini hari, dilanjutkan aku tertidur setelah mencoba membuat website yang sekarang tayang di sini.

Jakarta, sebuah kota yang membuatku bergidik dan merinding. Entah perasaan tidak nyaman selalu hinggap jika berada di atmosfer Jakarta. Untung perjalanan sudah diatur dan semua lancar. Pemberhentian selanjutnya adalah Depok, guna mengunjungi kolega dan sahabat di sebuah universitas negeri yang sudah tua di Indonesia. Setelah Depok, bergerak ke salah satu Universitas Swasta yang memiliki Fakultas Farmasi tertua kedua di Indonesia setelah Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Pemberhentian selanjutnya adalah Cisarua, menemani rekan yang akan rapat tentang regulasi kosmetik dan aku istirahat di tempat berbukit yang indah nian (tidak mungkin ditemui di Belanda). Cisarua bergerak ke Bandara CGK, Tangerang. Dan pesawat malam itu membawaku ke Kuala Lumpur (satu jam tanpa turun), Kuwait (transit sekitar 5 jam), Roma (satu jam tanpa turun), berakhir di Paris. Dari Bandara CDG naik kereta dan subway menuju Paris Gallieni, untuk meneruskan perjalanan selama 7 jam naik Bus menuju Amsterdam. Sampai Amsterdam tepat di depan kamar, arloji dari orang yang (pernah) mencintai aku menunjukkan pukul 06.00 dini hari. Yogyakarta-Jakarta-Depok-Cisarua-Tangerang-Kuala Lumpur-Kuwait-Roma-Paris-Amsterdam, 10 kota/kabupaten di 2 benua yang berbeda dalam 60 jam, menggunakan 5 jenis transportasi publik yang berbeda pula: taxi, pesawat, kereta, subway, bus. Suatu cerita yang tidak ingin diulangi lagi kalau sendirian.

Pengalaman paling menarik dalam perjalanan ini adalah mengamati karakter petugas keamanan masing-masing bandara. Di Indonesia, seperti telah banyak dibahas, terasa perbedaan tingkat keramahan (mungkin juga prosedur) antara group check in (tujuan Kuwait, banyak TKI-nya) dan individual check in, di Kuwait tidak terasa ada perbedaan, tapi terasa sekali kadar keramahan yang tipis, bentakan-bentakan mudah didengar di segala sudut bandara dan sulit sekali melihat senyuman ramah dari petugas bandara. Senyum ramah hanya pernah didapat dari penjaga toko souvenir tempat aku belanja sedikit kenang-kenangan bahwa pernah ke Kuwait. Di bandara Charles de Gaule Paris, suasana tidak seseram Schphol Amsterdam. Pemeriksaan identitas dan dokumen singkat dan cepat. Biasanya kalau di Amsterdam melalui beberapa pertanyaan, saat ini di Paris tidak ditanya apa-apa. Bagasi juga datang relatif lebih cepat dibanding Amsterdam.

Ah sudah pukul 14.30. Saatnya belanja dan nonton film. The Forbidden Kingdom sepertinya menarik

27 September 2008 Posted by | Secangkir ... | , , , , | 4 Komentar

Secangkir teh panas yang belum jadi …

Pagi – Sabtu 9 Agustus 2008

Tiga hari telah berlalu sejak ulang tahunku yang ke-29. Hari ini ulang tahun seorang rekan di Aachen, Jerman dan satu lagi di Haarlem, Belanda. Selamat ultah ya Arya dan Myra, semoga damai sejahtera senantiasa. Sembari menunggu air mendidih, sejenak angan ini berlari ke seminggu yang lalu, saat Parade Gay Pride di Amsterdam. Dari parade tersebut kemudian terjadi hal-hal iseng di dunia maya dengan munculnya “perang tag” di facebook. Jadi seorang “oknum” (sebut saja bernama Binsar) melakukan “gerilya” dengan memotret berbagai adegan di parade tersebut lalu men-tag “teman-teman”nya. Dan ini adalah gambar yang di-tag ke diriku:

Lucu juga sih. Sepertinya asyik punya rambut pirang panjang dan bodi masih seperti jaman SMA dulu (Emang pernah ya punya bodi seperti itu …. ). Thanks to Binsar yang menghadirkan parade tersebut secara aku tidak bisa nonton. Semoga tahun depan masih ada kesempatan.

Pada saat itu, aku, Heri, Myra, Iqbal, dan Bebi mengunjungi Vlissingen dalam rangka jalan-jalan bersama kru kapal KRI Iskandar Muda, Bang Ludfy, Friski, Romy dan Anugrah a.k.a Erol. Secara kami berasal dari SMA yang sama, perbincangan mengalir dan berbau nostalgia serta cela-celaan yang khas. Kota Vlissingen hari itu memberikan suasana yang cerah di pagi siang hari dan hujan rintik-rintik di sore hari. Diawali dengan makan siang di “Mini Wok” di pusat kota. Lalu jalan mengelilingi kota, potret sana-sini. Melihat kekasih bermesraan di tepi pantai. Makan oliebollen (bahasa Indonesianya mungkin: roti goreng) sembari melihat meisje-meisje adu ketrampilan di atas kuda (kebetulan hari itu ada acara khusus di Vlissingen). Bersandar di patung Michiel de Ruijter si anak emas kota Vlissingen (Salah satu pahlawan besar Belanda yang kucurigai terlibat dalam penjajahan Indonesia dan juga perdagangan budak), sambil melihat Iqbal kagum dengan lautan yang menggelora menakjubkan. Angin laut tak henti-hentinya menyapa rambutku saat itu. Setelah secangkir-dua cangkir gin and tonic di sebuah kafe dan makan malam di restauran di seberang jalan kafe tersebut, pasukan bergerak ke stasun Vlissingen. Dan karena efek angin laut, aku terpaksa beristirahat semalam di Rotterdam di kediaman Heri.

Hari-hari selanjutnya seperti hari-hari sebelumnya, rutinitas belaka. Lumayan sudah ada kemajuan di tempat kerja dan mulai terbiasa dengan kamar baru ini. Kecuali tanggal 6 Agustus lalu yang merupakan hari istimewa. Hari tepat 29 tahun yang lalu aku dilahirkan. Angka 29 cukup membuat mata ini “silau”, satu lagi jadi 30. Aku dah tua ternyata ya …

Sempat pula menonton “The Dark Knight” dan “Wall-E“. In my opinion, the dark knight gak sebagus yang kuharapkan. Dari berbagai testimoni rekan-rekan yang sudah nonton mengatakan film itu bagus, namun aku mendapati hal yang berbeda. Okelah, effect-nya keren, actingnya Ledger boleh dibilang memukau sebagai joker, adegan pertentangan batin yang merupakan “permainannya Joker” bisa dibilang inspiring. Namun aku kira Jokernya disini kurang lucu, perubahan karakter Harvey Dent kurang dramatis, dan keseluruhan cerita mengingatkanku pada “Dark Justice“, serta hampir semua adegan di film tersebut predictable. Jadi pas nonton, ketika angle kamera mengarah ke seseorang, alam bawah sadarku langsung menerka orang ini akan berbuat apa, bahkan step-stepnya Joker sudah tertebak, dari awal hingga akhir film. Lalu semalam menyempatkan diri nonton Wall-E, yang bagiku lebih bagus dari pada “The Dark Knight”. Cerita di Wall-E sederhana dan ending-nya sudah bisa ditebak khas film untuk anak-anak. Namun adegan-adegan di Wall-E yang lebih memanfaatkan ekspresi daripada dialog cukup mengagetkan dan sempat membawaku serasa dalam dunia Wall-E. Sayang, ending-nya terkesan dipaksa dramatis. Ah, tapi ini hanya review dari orang yang awam dunia pelem-pelem-an. Nonton film sekedar untuk refreshing dan membunuh waktu sebagai jomblo lokal. Dan perbedaan pendapatku dengan http://www.imdb.com/ semakin mempertegas keyakinanku kalau keindahan itu subyektif bukan obyektif, “de gustibus non est disputandum” atau “tidak ada perdebatan dalam masalah selera”.

Ada satu ide yang tergali lagi dari pikiranku saat nonton Wall-E: “The Chemistry of Love”. Beberapa laporan dan artikel mengenai oksitosin, feromon dan lain sebagainya mengarah pada hipotesa bahwa “Love is merely chemical reaction“. Kalimat “kami sudah tidak merasakan chemistry satu sama lain, maka kami berpisah” bisa jadi tepat. Kali lain aku akan coba review ini lebih detil, dan kalau sudah mencapai masalah teknis, mungkin perlu pindah ke blog sebelah. Mengapa nonton Wall-E bisa muncul kembali pemikiran ini? Karena Wall-E adalah sebuah robot, bisa dikatakan tidak ada serangkaian asam amino yang menyusun protein di Wall-E. Bagaimana Wall-E jatuh cinta? atau tepatnya Bagaimana Wall-E punya perasaan? Ah .. sekali lagi menghela nafas, itu kan pelem … he .. he.. he .. Why so serious? (Loh koq malah mengkutip kalimat Joker di “the Dark Knight” :p )

Ooppss, air sudah lama matang. Secangkir teh panas dan sekeping croissant lengkap dengan beberapa helai salami ayam dan kalkun segera disipakan untuk makan pagi.

Merdeka!

9 Agustus 2008 Posted by | Secangkir ... | , , , , , , , , , | 4 Komentar