Laan van Kronenburg

dan perdjoeangan masih panjang

Secangkir teh dan kisah legenda pogung …

Bagi orang Djogja yang didalamnya ada gerombolan anak-anak CA, dusun-dusun Pogung yang terletak di utara dan barat Fakultas Teknik UGM mungkin tidak asing. Nah dibawah ini kisah legenda Pogung, seperti dituturkan seorang Seta di warung Mie Ayam samping Fakultas Farmasi UGM.

Saat itu belum ada Keraton Mataram di Ngajogdjakarta Hadiningrat ini, hanya sebuah kerajaan kecil di dekat pantai selatan Djogdja yang berpusat di tepi muara sungai Code. Sejak dulu sungai tersebut sudah bernama “Code”, sedangkan kerajaannya menamakan dirinya kerajaan “Laut Kidul” yang dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan menjadi “Laut Selatan”. Kerajaan tersebut diperintah oleh seorang raja yang sangat menggemari gamelan. Dia bersahabat dengan seorang ahli gamelan yang fasih memainkan ketipung dan gong serta pandai bercerita menggunakan tembang-tembang Jawa. Mereka sahabat sejak kecil, dan saat sang Pangeran Kecil diangkat menjadi raja, si ahli gamelan yang waktu itu juga beranjak dewasa diangkat menjadi punggawa kerajaan dengan gelar “Ki Dalang”. Gelar tersebut diberikan karena talentanya membuat sebuah cerita biasa menjadi luar biasa dan memainkan emosi pendengarnya, apalagi sering dibarengi dengan kemampuannya mengolah perasaan pendengar dengan permainan ketipung dan gong. Ki Dalang sangat dicintai warga kerajaan.”

Iustrasi Putri Campa di laut selatan

Seta berhenti sejenak untuk menikmati coklat yang mulai dingin. “Hingga suatu saat ada sebuah kapal berbendera Ular Naga, syahdan dari Negara Campa, merapat di tepi pantai Kerajaan Laut Kidul. Karena keterbatasan bahasa, mereka hanya berkomunikasi lewat bahasa tarzan. Saat itu dilakukan perdagangan dengan cara yang unik, hasil bumi dari Kerajaan Laut Kidul ditukar dengan keramik dan gerabah yang menawan. Mereka bersandar hanya kurang dari seumur jagung dan berlayar lagi entah kemana. Hanya tinggal seorang tabib beserta seorang putrinya yang cantik jelita. Si tabib ini ingin mempelajari kearifan lokal Kerajaan Laut Kidul dalam mengobati penyakit yang diderita. Seiring perjalanan waktu, kemolekan putri campa melampaui indahnya cahaya rembulan, Sang Raja dan Ki Dalang jatuh cinta pada putri tersebut. Cinta adalah bahasa tanpa kata dan sejak saat itu Ki Dalang selalu memainkan dan menggubah lagu cinta yang saat ini dikenal sebagai Asmarandana. Karena setia terhadap persahabatan, Ki Dalang memilih untuk memendam perasaannya.

Waktu bergulir dan Sang Raja ingin menyatakan cinta pada si Putri Campa, namun aturan kerajaan melarang dia menikah dengan orang asing, sementara cinta Ki Dalang semakin menjadi-jadi. Adalah suatu dilema bagi Ki Dalang untuk mencintai seseorang yang dicintai sahabatnya. Suatu saat, Sang Raja minta bantuan kepada Ki Dalang untuk menggubah lagu untuk si Putri Campa, dan cinta Sang Raja tidak bertepuk sebelah tangan. Pada kesempatan itu pula akhirnya terbukalah cinta terlarang ini kepada rakyat Kerajaan Laut Kidul. Rakyat dan segenap prajurit murka dan menuduh si Tabib dan Putri Campa telah meneluh Sang Raja. Dengan beringas mereka membunuh si Tabib dan mengusir Putri Campa. Sang Raja dengan berat hati untuk menghindari amuk massa mengabulkan permintaan rakyat untuk mengusir Putri Campa. Dia meminta tolong Ki Dalang untuk ‘mengamankan” Putri Campa dengan menemani kepergian si Putri Campa. Ki Dalang dengan restu Sang Raja membawa Putri Campa ke arah gunung Merapi dan dia meminta izin untuk membawa ketipung dan gong kesayangannya.

Karena begitu berat penderitaan Sang Raja kehilangan sahabat dan kekasih yang sangat dicintainya, Sang Raja jatuh sakit dan tidak bisa pulih seperti sedia kala. Rakyat juga berduka dan rakyat akhirnya menyadari kesalahannya. Dua tahun telah berlalu, dan Sang Raja sudah sangat kritis, hanya bisa mengigau menyebutkan nama si Putri Campa, Ki Dalang, Ketipung, Gong dan Utara. Lalu rakyat dengan swadaya membentuk pasukan pencari kemana si Putri Campa pergi supaya bisa mempertemukan dengan Sang Raja. Berdasar igauan Sang Raja, pasukan tersebut bergerak ke arah utara. Pasukan yang mengikuti aliran sungai Code tiba di sebuah hutan lebat dan sayup-sayup mendengar suara ‘Pong-Gung’ berulang-ulang seperti suara ketipung dan gong yang dipukul bergantian. Mereka mencari sumber bunyi tersebut dan mendapati seorang wanita yang sangat cantik sedang menyuapi anak kecil yang baru berjalan berjalan. Dan tidak jauh dari tempat itu mereka mendapati Ki Dalang sedang memukul gong dan ketipung bergantian sembari menggumamkan kata-kata yang tidak jelas. Kepala pasukan kemudian menghadap Ki Dalang dan memohon untuk sudi mengizinkan Putri Campa yang sekarang menjadi istri Ki Dalang menemui Sang raja yang sudah sakit keras.

Lalu Ki Dalang, Putri Campa dan anak mereka diringi oleh pasukan pencari kembali ke Kerajaan Laut Kidul dan menemui Sang Raja. Setelah bersua dengan Sang Raja, Putri Campa menggamit tangan Sang Raja dan Sang Raja dengan sangat lemah membuka matanya. Senyum Sang Raja kemudian menghiasi raut mukanya ketika melihat Putri Campa disisinya. Ketika Sang Raja memandang ke sekeliling dia mendapati Ki Dalang sedang menggendong anak kecil dengan raut wajah sangat mirip dengan Putri Campa. Seketika senyumnya hilang dan menatap tajam ke mata Putri Campa. Namun Putri Campa dengan lembut membalas tatapan tersebut dihiasi dengan senyum tipis yang memang tidak pernah hilang dari wajahnya. Tatapan Putri Campa seperti isyarat yang mengatakan, “Kanda, bahagiakah Kanda melihat aku bahagia.”. Kemudian Sang Raja terdiam sesaat dan seperti mengerti arti isyarat dalam tatap mata itu, Sang Raja menjawab, “Ya, Kanda bahagia melihat engkau bahagia”. Dalam hati Sang Raja ada tambahannya, “Dan aku akan lebih bahagia andai kau bahagia karena aku dan bersama-sama dengan aku.” Lalu Sang Raja memandang kesekeliling sekali lagi dan menutup mata selama-lamanya.

Melihat hal itu sebagian besar rakyat sedih dan murka dan sebagian lagi bisa menyadari kesalahan mereka dahulu yang menghalangi cinta antara dua insan. Rakyat yang marah lalu membuat kerusuhan dan ingin membunuh Putri Campa. Sang Putri Campa yang sedang sedih melarikan diri ke laut dan ditelan ombak yang kemudian mengganas menyapu semua orang yang mengejar berusaha membunuhnya. Ombak tersebut bergulung-gulung membabat habis Kerajaan Laut Kidul dan hanya sedikit yang tersisa dan selamat secara ajaib. Salah satunya adalah Ki Dalang dan anaknya. Ki Dalang sangat sedih nestapa melihat kejadian ini. Dalam waktu sekejap dia kehilangan hampir semua miliknya. Hanya tersisa anak mungil yang merupakan buah cintanya dengan Putri Campa, dan sepasang Ketipung dan Gong. Namun dia sadar, bahwa dia tidak boleh larut dalam kesedihan, karena dia tahu bahwa Putri Campa akan bersedih melihat dia menderita. Dia harus bangkit untuk masa depan yang lebih baik.

Ki Dalang pun mengajak semua orang yang tersisa ke tempat dimana dia dan Putri Campa memadu cinta setelah diusir dua tahun silam. Di tempat itu masih tersisa perkakas dan perlengkapan untuk bertahan dan membangun kehidupan. Sesampainya di tempat itu mereka bahu-membahu membangun sebuah desa. Sejak matahari terbit mereka bergotong-royong sementara Ki Dalang bermeditasi sambil memukul ketipung dan gong secara bergantian. Mereka bekerja dengan semangat diiring suara ‘Pong-Gung’ yang berulang-ulang. Di malam hari mereka beristirahat sambil bersenda gurau ditemani oleh hiburan cerita-cerita lucu yang disampaikan Ki Dalang. Hingga pada hari yang ke-40, telah berdiri sebuah desa sederhana seluas suara ‘Pong-Gung’ berkumandang. Mereka menamai desa tersebut desa “Pogung” berasal dari suara Pong-Gung’ yang berulang-ulang yang mempertahankan semangat saat mereka membangun desa. Kemudian untuk mempermudah pengelolaan desa baru tersebut, Ki Dalang membagi desa tersebut menjadi empat dusun dan mereka sepakat memberi dusun nama tempat tinggal Ki Dalang: Pogung Dalangan, berasal dari kata Dalang. Kemudian dusun di tepi Kali Code, daerah paling subur dengan nama Pogung Rejo. Rejo merupakan bahasa Jawa dari kata makmur. Dusun di sebelah selatan Pogung Dalangan diberi nama Pogung Kidul berasal dari kata Kidul yang artinya selatan, sedangkan dusun di sebelah utara diberi nama Pogung Lor, berasal dari kata Lor atau utara dalam bahasa Jawa. Setelah pemberian nama disepakati, mereka berpuasa prihatin selama tujuh hari tujuh malam. Dan pada hari ketujuh mereka melihat keajaiban: Sang Raja dan Putri Campa bergandengan tangan menampakkan diri sambil bernubuat, ‘Nek ono rejaning jaman, panggonan iki bakal dadi papan kanggo wong kang ngangsu kawruh. Saka bangsamu dewe lan saka bangsa manca,’ yang artinya kurang lebih demikian, ‘Kalau zaman sudah makmur, tempat ini bakal menjadi tempat orang yang datang untuk belajar. Baik dari bangsa sendiri maupun dari bangsa lain’.

Begitulah kisah legenda Pogung.

Ilustrasi Putri Campa di laut selatan diambil dari sini. Terima kasih untuk Lexsi di Jakarta Barat.

11 Oktober 2008 Posted by | New idea ..., Secangkir ... | , , , | 12 Komentar